Rencana Strategis (Renstra) 2012-2016 berlalu. Memasuki Renstra baru, tiga slogan pamungkas diluncurkan.
Awal 2017, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Dede Rosyada mengirim surat undangan pada jajaran
rektorat dan dekanat untuk menghadiri Rapat Kerja Pimpinan (Rakerpim) 2017.
Rapat ini bertujuan untuk membahas strategi UIN Jakarta pada periode 2017 dan
masa mendatang.
Alhasil, Kamis (19/1) lalu, Dede terlihat memimpin di depan
peserta Rakerpim 2017. Ia duduk bersama para jajaran wakil rektor UIN Jakarta.
Dede mengenakan baju batik berwarna coklat,
terlihat guratan senyum semringah di wajahnya. Rapat yang digelar di Ballroom Marbella Hotel Anyer itu menghasilkan
tiga program kerja yaitu Globality, Autonomy, dan Humanity.
Slogan pamungkas ini menjadi kata induk guna memantapkan tahap Progressing
towards Excellence 2017-2021.
Seolah tak berpuas diri, pada prosesi wisuda ke-103 Dede kembali menegaskan program kerjanya. Waktu itu, dalam sambutannya di hadapan 1096 wisudawan, Dede menggemakan tiga slogan program kerja 2017. Ia pun meyakini ketiga slogan itu mampu mengukuhkan UIN Jakarta di kancah nasional dan global.
Globality menjadi kata pertama dalam slogan program kerja Dede. Menurutnya, poin ini menjadi langkah UIN Jakarta menuju universitas yang diakui internasional. Dalam Rencana Strategi (Renstra) 2017-2022, lanjut Dede, UIN Jakarta menargetkan masuk di urutan 500 besar perguruan tinggi terbaik dunia. Tak hanya itu, UIN Jakarta pun ingin masuk rangking 100 besar di Asia dan 50 besar untuk Asia Tenggara. Sedangkan dalam negeri, UIN Jakarta bercita-cita masuk 10 besar perguruan tinggi terbaik nasional.
Kala wawancara bersama Dede usai.
Pelbagai langkah pun ditempuh Institut guna mengulik Renstra lima
tahun ke depan. Kerangka liputan disusun dan narasumber berkompeten pun Institut
kunjungi. Para petinggi UIN Jakarta dan Direktur Jendral sumber Daya
Manusia dan Teknologi, Kementerian Riset dan Tekonogi Perguruan Tinggi turut
dimintai pendapat.
Menyambangi kantor Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), Institut
meminta data peringkat UIN Jakarta. Berdasarkan webometrics—pemeringkatan
visitasi situs— peringkat dunia UIN Jakarta per Juli 2016 berada di posisi
3492, namun pada Januari 2017 anjlok ke posisi 3718. Untuk wilayah Asia, peringkat UIN Jakarta
berada di posisi 1498. Sedangkan pada
level Asia Tenggara posisi UIN Jakarta terseok ke 119.
Meski peringkat UIN turun di webometrics, Dede kukuh mempersiapkan
UIN Jakarta menuju Quacquarelli Symonds (QS) World University Rankings. Sikap
optimis muncul setelah UIN Jakarta
sukses memperoleh ASEAN University Network-Quality Assurance (AUN-QA) pada
April 2016 silam. ”QS tahun ini akan masuk,” kata Dede, Selasa (18/4), di ruang
kerjanya lantai dua Gedung Rektorat.
Menanggapi keinginan Dede, Ketua LPM Sururin menjelaskan
metodologi penilaian QS Rankings berbeda dengan AUN-QA. Lembaga yang bertempat
di London, Inggris itu merupakan institusi pemeringkatan universitas terkemuka
di dunia. Dalam penetapan rangking tahunan, lanjut Sururin, QS menggunakan
pelbagai indikator yang mengacu pada penelitian, pengutipan penelitian,
reputasi alumni dan kelayakan lembaga. “UIN baru akan melangkah ke sana,”
terang Sururin, Selasa (18/4).
Tak berhenti sampai di situ, Institut pun mengulik
pemeringkatan Islamic World Citation Center (ISC) Ranking of Islamic Countries
Universities and Research Institutions di situs www.isc.gov.ir. Lembaga pemeringkatan
dari Iran itu tak memasukkan UIN Jakarta dalam daftar sama sekali. Berbeda dengan Universitas Indonesia dan
Universitas Gadjah Mada yang masing-masing berada di posisi pertama dan kedua.
“Di ISC kita tak masuk,” kata Ketua
Forum Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri se-Indonesia itu.
Tak hanya peringkat, dalam poin globality Dede juga
berkeinginan agar penelitian dan publikasi jurnal internasional UIN Jakarta
terus meningkat. Oleh karena itu, ia pun menuntut para dosen untuk terus
melakukan penelitian. Alasannya, bila
jurnal UIN Jakarta di-publish Scopus, secara otomatis dapat diakses 400
negara. “Kita tahu jurnal kita dibaca karena ada yang mengutip,” jelasnya.
Pada jam istirahat Selasa (18/4) lalu, Institut pun menemui
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M), Arskal Salim
di Gedung Rektorat lantai tiga terkait publikasi internasional UIN Jakarta.
Arskal mempersilakan Institut masuk ke ruang kerjanya. Sembari mengubah
posisi duduk, Arskal pun menyalakan laptop Apple miliknya. Di layar laptop itu,
tampak laman berlogo Western Sydney University (WSU) kemudian ia mengetikkan
nama pengguna dan kata sandi untuk login ke Scopus—pusat data ilmiah
terbesar dunia.
”Saya masuk Scopus lewat akun WSU, UIN Jakarta tak lagi
berlangganan,” ujarnya. Sejak 2016, UIN Jakarta berhenti langganan Scopus.
Imbasnya, kampus ini pun kehilangan hak akses data di Scopus. Lebih lanjut
Arskal menambahkan, sulit baginya jika terus menerus menggunakan akun institusi
lain untuk mengakses Scopus.
Berdasarkan data dari Arskal, saat ini UIN Jakarta telah
mempublikasi 447 penelitian yang terindeks Scopus sepanjang 2002 hingga April
2017. Namun, penelitian itu banyak didominasi oleh fakultas-fakultas umum UIN
Jakarta. Sedangkan, fakultas keagamaan masih berada di urutan terbawah.
Berbekal dokumen dari LP2M, terungkap bahwa sejauh ini Fakultas Ushuluddin baru
memiliki 8 publikasi. Di sisi lain,
Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi pun tercecer hanya 6 publikasi.
“Banyak dosen fakultas agama yang belum bisa menulis menggunakan bahasa
Inggris,” ungkap Arskal.
Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) satu-satunya yang tak memiliki
publikasi jurnal ilmiah terindeks Scopus. Senada dengan Arskal, Dekan FDI Hamka
Hasan mengakui fakultas yang ia pimpin masih belum memiliki jurnal terindeks
Scopus karena kendala bahasa. “FDI basic-nya bahasa Arab, Scopus belum
ada sarana untuk bahasa Arab,” jelas Hamka di seberang telepon, Rabu (19/4).
Terkait penelitian UIN Jakarta, ditemui secara terpisah, Direktur
Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Ali Ghufran
Mukti memberikan tanggapan. Ia menjelaskan, UIN Jakarta belum memiliki
fokus kajian yang jelas. “Kajian UIN bagus, tapi harus fokus agama atau umum,”
kata Ali, Kamis (20/4).
Persoalan pun kian meruyak, pelbagai jurnal ilmiah yang dimiliki
UIN yang ada belum banyak yang dilirik industri. Dede pun membenarkan kurangnya
minat industri terhadap penelitian UIN Jakarta. Penyebabnya, lanjut Dede,
banyak riset UIN Jakarta yang belum juga mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual.
“Sejauh ini penelitian dosen masih sebatas academic oriented,” ucapnya.
Setelah Globality, Autonomy menjadi slogan kedua. Butir ini
menekankan aspek kemandirian UIN Jakarta. Menurut Dede, saat ini UIN Jakarta
ingin menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) sesuai Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012. Dede melanjutkan, banyak keuntungan diraih bila UIN
Jakarta berstatus PTN BH. Salah satu keuntungannya UIN Jakarta leluasa membuka
dan menutup program studi. “Tak menunggu izin dari kementerian,” ujarnya.
Merespons ambisi Dede, pukul 11.00 WIB Selasa (18/4), Institut menemui
Ketua Senat Universitas Muhammad Atho Mudzhar di ruang kerjanya. Atho
menyatakan, pihak senat tak sepenuhnya menerima PTN BH. Ia pun tak menampik
terdapat perdebatan alot antara Senat Universitas dan jajaran rektorat. Dalam
draf program Dede, sambung Atho, tertulis PTN BH sebagai visi UIN Jakarta. Atho
menegaskan, PTN BH bukanlah visi UIN Jakarta. Rekomendasi senat pun telah
dilayangkan pada September 2016. “PTN BH tak layak menjadi visi,” jelas Atho.
Slogan program kerja terakhir Dede adalah Humanity. Dalam slogan ini, mantan Direktur Pendidikan Tinggi Islam itu lebih
menekankan asas manusiawi. Dede berniat mewujudkan UIN Jakarta menjadi kampus heterogen yang nyaman dan asri. Sederet program pun ia
rancang. Salah satunya ia akan membuka program kelas internasional. “Saya akan
mendatangkan 500 orang mahasiswa asing,” katanya.
Ketua LPM Sururin pun menanggapi program humanity Dede. Ia
menuturkan hingga kini UIN Jakarta kurang memerhatikan nasib kaum penyandang
difabel. Sururin pun berharap agar seluruh fakultas di UIN Jakarta segera
memiliki fasilitas para difabel. “Pendidikan di UIN harus bisa dirasakan
berbagai golongan,” tukas Sururin.
Institut pun mempunyai data terkait keinginan Dede mewujudkan kampus
nyaman dan asri. Pada Tabloid Institut edisi XLI Maret 2016 tercatat
ruang terbuka hijau (RTH) UIN Jakarta berkurang akibat pemasangan paving
blok. Bahkan, Pemerintah Daerah Tangerang Selatan pun sempat menegur UIN
Jakarta karena melanggar Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 pasal 29 tentang
Penataan Ruang. UIN Jakarta dinilai tak memiliki RTH seluas 30 persen dari area
bangunan.
Selanjutnya, UIN Jakarta pun tak memenuhi Standar Nasional
Perguruan Tinggi seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Tahun 2013. Dalam Tabloid Institut edisi XLVI November 2016
tercatat UIN Jakarta tidak memenuhi standar pasal 41 tentang Ruang Kerja Dosen
dan Tata Usaha. Lantaran, beberapa fakultas belum menyediakan ruang dosen dan
pegawai yang sesuai peraturan tersebut.
Tulisan ini dimuat dalam Tabloid Institut Edisi XLVIII 2017 dengan judul "Telisik Renstra Di Balik Slogan".
0 komentar:
Posting Komentar