“Seekor burung elang, seekor kancil, seekor ular, dan seekor singa.” Arthur terdiam melihat semuanya. Seakan-akan dirinya masuk dalam list yang dipahat indah di batang mahoni. Entahlah, pandangannya kabur atau ia salah melihat.
Kilauan cahaya putih tiba-tiba hadir di hadapannya. Hadir menjadi sosok berjubah putih. Makhluk itu menyerahkan tadah cangkir tanpa sesuatu apapun di atasnya. Arthur menerima tadah itu, ia merasa asing dengan makhluk itu.
“Siapa namamu?” tanya Arthur dengan terus memerhatikan makhluk itu.
“Siapa namamu” jawabnya.
Arthur berdiam diri, ia berlangkah mundur. Sosok yang dilihatnya bergeming. Arthur memutarinya dengan penuh tanya. Siapa gerangan yang hadir begitu saja, Bertanya balik ketika ditanya, bagaikan cermin memantulkan objek yang sama.
Otak menggerakkan lakunya meninggalkan sosok itu. Arthur melangkah ke sisi kiri yang terbentang lorong panjang. Hitam pekat, kontras dari keadaan sebelumnya. Ia menjauh dan terus berjalan, sambil membawa tadah cangkir.
Semakin ia melangkah, tadah cangkir melayang dari tangannya mengeluarkan cahaya putih. Warna yang sama ketika ia melihat sosok makhluk berjubah. Cahaya itu terus mencerahkan dinding lorong hitam itu menjadi cahaya berbentuk hologram putih.
Hologram itu menampilkan keadaan hidupnya di masa lalu, layaknya kaleidoskop, ia menjadi aktor utama. Ia tersenyum, terkadang tertawa hingga raut wajah sedih ia tampakkan ketika menyaksikan layar itu.
Ia menikmati layar tersebut, hingga tertidur. Arthur terlelap di tengah lorong hologram itu. Cukup lama, ia terlelap hingga ia terbangun oleh angin yang menampar wajahnya, Arthur bergidik. Angin itu semakin kencang, seketika hologram itu gugur berhamburan menjadi daun kering.
***
Sayup-sayup namanya dipanggil, penglihatannya tertuju ke makhluk berjubah. Seekor singa berbulu lebat sedang menerkamnya. Arthur berlari untuk menghentikan tindakan binatang buas itu.
Pekik suara burung berdesingan di telinga Arthur. Ia pun mendongakkan kepalanya ke langit. Ia menyaksikan seekor burung elang. Ukuran elang yang dilihatnya sangatlah tak lazim. Sangat besar, melebihi ukuran dirinya. Arthur takut bukan main, elang itu menuju dirinya. Ia berlari semakin cepat, tak lama elang mencengkram tubuh Arthur.
Ia merasakan sakit yang teramat dalam, punggungnya seperti ditusuk tembus hingga ke hulu hati. Arthur merasakan kejanggalan di punggungnya, ternyata elang menyisakan sayapnya yang besar tepat di punggungnya. Ia tak bermimpi, Arthur memiliki sayap besi. Ia mengepakkan sayap itu dan terbang. Ya, Arthur terbang.
Sementara itu, sosok berjubah putih terus melawan terkaman singa. Arthur terbang menuju sosok itu. Hingga ia mendaratkan tangannya di tubuh singa. Sosok itu berdarah, kondisinya melemah. Arthur pun menghiraukan keadaannya, ia fokus ke singa dan membantai habis singa itu.
Singa itu mati di tangan Arthur. Ia pun langsung mendekati sosok berjubah putih itu. Cahaya dari jubahnya menghilang. Sayang, kondisinya melemah, makhluk itu terluka. Ia bersuara sangat lirih hingga tak dapat didengar Arthur.
“Kau adalah seekor burung elang, seekor kancil, seekor ular, dan seekor singa,” katanya.
“Aku tak mengerti, aku tidak mengenalmu, siapa kau?” Arthur bertanya pelan.
“Kesatuan yang tak terpisahkan darimu, pergilah tinggalkan aku” jawab makhluk itu.
***
Arthur tersadar, ia sedang terbaring lemah di atas kasur cuki berbahan tepas. Santi, temannya Arthur dari Kota Tarakan turut menjenguknya. Dia mengkhawatirkan keadaan Arthur pasca kecelakaan yang dialaminya.
“Sudah seharian kamu terlelap, Are you okay?” tanya Santi.
“Aku baik-baik saja” jawab Arthur, lirih namun jelas dengan perban di bagian kepala, tangan.
“Syukurlah, aku sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku bangga, kamu menyelamatkan anak kecil yang terjatuh dari sepeda dari sambaran bus yang melintas” Kata Santi sambil tersenyum.
“Bagaimana anak kecil itu, dimana ia sekarang?” Tanya Arthur.
“Dia sudah dibawa keluarganya, kamu istirahat saja ya,” Santi pun meninggalkan Arthur.
Arthur memandangi langit-langit ruang puskesmas. Cahaya senja keemasan masuk dari jendela ruangan itu. Tampak petugas puskesmas menyediakan makanan untuknya. Petugas itu memandang wajahya memberikan senyum indahnya.
Arthur pun mengecek layar ponselnya, dilihatnya ada 27 panggilan tak terjawab dan 25 pesan. Dia mengabaikan semua itu, dia mengeluhkan rasa sakit di dadanya. Petugas puskesmas memberinya makanan ringan serta obat pereda rasa sakit.
“Silakan di makan mas, setelah itu minum yang ini” kata petugas itu.
“Oh ya, terima kasih bu,” Arthur semringah menerimanaya.
Dari jauh terdengar deru mobil, Arthur sangat mengenal suara itu. Mobil itu berhenti di depan puskesmas. Suara lari dan riuh mendekati ruangan dimana ia berada. Suara itu kian mendekat hingga depan pintu kamarnya.
“Arthur!” seorang wanita lekas menghampirinya.
“Kamu baik-baik saja kan? Maafkan ibu, nak.” Suara isak ibunya menggelegar di ruangannya.
“Sudah bu, anak hebatmu tidak kenapa-kenapa, lihat betapa kuatnya ia.” Ayahnya menenangkan ibunya.
Kesenjaan tak terbendung, mentari pun terlelap. Digantikan dengan cahaya rembulan dengan taburan bintang di angkasa. Malam itu semuanya berkumpul, keluarga, kerabat, maupun sahabat turut menyertai Arthur.
Arthur memandang wajah ayah dan ibunya. Ia sangat menyayangi kedua orangtuanya. Pendidikan moral yang mereka ajarkan selalu di terapkan dalam setiap langkah hidupnya. Arthur anak semata wayang di keluarga. Itu sebabnya, Arthur sungguh disayangi kedua orangtuanya.
Arthur berencana dibawa ke kota Tarakan untuk pelayanan medis yang memadai. Kerusakan organ dalam yang disebabkan kecelakaan yang dilaluinya, membuat kondisi Arthur kian melemah.
Arthur pun dibawa dengan mobil berwarna putih, Ayahnya menyetir mobil dengan cepat. Arthur ditidurkan di pangkuan ibunya, sedangkan Santi duduk di jok depan. Luas kota kecil itu rasanya ingin dikecilkan ayahnya lagi agar cepat sampai di rumah sakit.
“Bu.. aku sangat menyayangimu,” ucap Arthur dengan pendek napas.
“Aku rela raga ini untuk mereka yang membutuhkan,” Arthur pun menghembuskan napas terakhirnya.
0 komentar:
Posting Komentar